| Home | Book-Literature | Inspiring-Religion | Economy-Business | Social-Cultural-Languange | Politics-Conspiracy | Health-Sport | Music-Movie | Femininity-Parenting |

Tuesday 12 July 2016

ISU GENDER DALAM BUKU SEKOLAH TK PGRI TULUNGAGUNG



Beberapa bulan lalu saya menemukan dan membaca buku TK milik keponakan saya. Bukunya berjudul/ bertujuan melatih kemampuan kognitif anak, penulisnya PGRI TK Tulungagung.

Di buku tersebut terdapat latihan soal untuk dikerjakan anak didik agar memilih dengan mencentang pernyataan-pernyataan yang menunjukkan ciri-ciri fisik, pakaian, aksesoris,

yang menunjukkan bahwa gambar tersebut atau anak dengan ciri seperti disebut ini adalah seorang anak perempuan ataukah anak laki-laki.

Mungkin tujuannya agar anak dapat dengan mudah mengenali dan membedakan mana anak perempuan dan laki-laki dari gambar dan tulisan tersebut.

Jadi guru/ penulis membedakan gender anak perempuan dan laki-laki berdasarkan ciri-ciri berikut:

1. Perempuan digambarkan berambut panjang, sedangkan laki-laki berambut pendek (ciri fisik dan gaya rambut)

2. perempuan digambarkan memakai anting, sedangkan laki-laki tidak memakai anting (aksesoris)

3. perempuan digambarkan memakai atasan kaos dan bawahan rok, sedangkan laki-laki digambarkan memakai kemeja (padahal digambar juga memakai kaos :D) dan menggunakan celana

Di halaman sebelumnya dalam buku tersebut juga membahas gender. Bahkan tanpa penjelasan. Siswa hanya diminta menghitung berapa gambar anak perempuan dan anak laki-laki di soal tersebut.

Pada soal tersebut hanya ada gambar ukuran pas photo/ close up, gambar bagian kepala saja dari dua figur. Yang satu memakai aksesoris tali/ penjepit rambut pada rambutnya, sedangkan yang lainnya memakai topi.

Tentu yang sudah sejak awal dikenalkan tentang “gambaran umum” perempuan dan laki-laki akan berasumsi perempuan adalah yang memakai tali rambut pada rambutnya, sedangkan laki-laki adalah yang memakai topi.

Kalaupun ada yang tidak mengerti dengan soal ini, guru akan mengarahkan untuk menjawab seperti itu bukan?

Jadi sejak kecil (TK) anak-anak telah dicekoki ajaran tentang peran/ ciri-ciri gender menurut mereka para guru TK PGRI Tulungagung ini. Yang diajarkan pada murid ini sesuai dengan pemahaman mereka.

Apakah ada agenda tertentu di balik ajaran ini?

Kemudian saya berfikir, hal ini dapat menjadi awal/ dasar/ benih/ bibit terjadinya bully-ing, pelecehan, dan tindakan diskriminasi berdasarkan kategori gender dari ciri fisik dan penampilan luar tersebut,

yang dilakukan anak ini (keponakan saya misalnya sebagai contoh) kepada temannya atau orang lain yang ditemuinya dan dilihatnya di TV atau media lain. Bisa saat dia masih anak-anak, remaja atau bahkan saat dewasa.

Karena dengan doktrin/ didikan awal sejak pendidikan dini/ TK akan terpatri dalam fikiran/ ingatan anak bahwa perempuan hanya yang berciri seperti yang telah disebut dan digambarkan dalam buku tersebut,

jika seseorang tidak mempunyai ciri-ciri yang sama dengan itu maka orang tersebut bukan perempuan, atau disebut perempuan yang menyimpang atau tidak waras, aneh, tidak umum, dan pandangan buruk lainnya.

Misal perempuan tersebut tidak akan dianggap feminim, atau kelaki-lakian/ menyerupai laki-laki dan menyalahi kodratnya sebagai perempuan, karena dalam agama pun ada dalilnya.

Begitupun dengan laki-laki. Tapi menurut saya ini hanyalah masalah persepsi mereka, lalu kemudian mereka mengkristalkannya menjadi ajaran, inilah ciri-ciri perempuan dan ini ciri laki-laki.

Padahal di setiap negara, bahkan daerah, atau juga lingkup keluarga, ciri-ciri dari perempuan dan laki-laki berbeda-beda, baik dari ciri fisik, gaya rambut, gaya berpakaian, peran dalam keluarga, posisi dalam dunia kerja.

Semua tidak selalu sesuai dengan ciri-ciri yang digambarkan dengan buku tersebut. Sedang anak akan menganggap BENAR yang ada di buku dan diajarkan oleh guru mereka.

Maka untuk seterusnya yang tidak sesuai dengan buku dan guru berati SALAH. Pemahaman dan anggapan seperti akan sangat sulit diluruskan/ dihilangkan.

Jadi menurut saya hal (ciri-ciri) tersebut tidak tepat/ relevan/ valid.

Tidak seharusnya guru menyamaratakan/ megeneralisasikan ciri-ciri perempuan maupun laki-laki dari pernyataan-pernyataan pada soal dalam buku TK tadi.

Karena dalam dunia nyata tidak seperti itu. Dan anak murid TK ini nantinya akan hidup di dunia nyata bukan hanya dunia kecil yang guru dan orang tuanya ciptakan bukan?

Apakah guru-guru tersebut tidak berfikir jauh ke depan apa dampak buruk yang ditimbulkan dari ajaran/ didikan/ doktrin/ pemahaman yang ditanamkan tersebut pada anak kecil/ siswa TK?

Lalu siapa yang salah? Guru yang menyusun soal dalam buku tersebut? PGRI? Kementerian yang membuat kurikulum? Pemerintah yang membiarkan hal ini terjadi? Atau justru saya yang terlalu berlebihan?

Saya tidak berfikir tentang dampak jangka pendek saja tapi juga jangka panjang.

Dengan sistem pendidikan/ kurikulum/ isi ajaran yang seperti itu yang ditanamkan pada anak kecil, belum lagi peran keluarga yang mungkin mengamini ajaran di buku dan dari guru si anak, dan tidak memberi pemahaman yang lebih objektif, logis dan realistis.

Karena orang tua dan anggota keluarga lain juga mendapat pendidikan yang sama ketika mereka kecil. Jadi persepsi orang tua dan guru sejalan dalam hal ini.

Terkadang orang tua selalu mengatakan anak perempuan itu HARUS seperti ini perilakunya, pakaiannya, cara berpenampilan, dan bersikapnya; sedangkan laki-laki itu harus seperti ini (berlawanan dari yang telah disebutkan sebagai ciri perempuan).

Dan kemudian orang tua kadang memarahi anak jika mereka bersikap, berperilaku atau berpenampilan tidak sesuai dengan yang diajarkan (menurut persepsi) orang tua.

Tak jarang pula orang tua, lingkungan sekitar terdekat dengan anak membicarakan (gosip), mengejek, menghina orang yang mempunyai sikap, perilaku dan penampilan yang tidak sejalan dengan persepsi mereka.

Dan semua itu didengar si anak dan mempengaruhi cara berfikirnya kemudian.

Sebenarnya siapapun punya hak mengungkapkan pendapatnya, mempunyai pandangan masing-masing tentang penilaiannya terhadap orang lain terkait gender misalnya,

namun saran saya jangan sampai hal pembicaraan ini didengar anak, yang kemungkinan besar belum mengerti, belum bisa memproses, berfikir dan memilah-milah tentang/ antara anggapan dan kebenaran atau ilmiah.

Jujur, saya pun terkadang masih sering mengeluarkan komentar tak baik jika saya melihat seseorang laki-laki misalnya yang mempunyai ciri-ciri, kepribadian, cara bicara, bersikap, berperilaku dan berpenampilan tidak sesuai dengan tipe ideal saya.

Saya hanya tidak menyukainya, maksud saya, saya mungkin terpengaruh dari penanaman-penanaman nilai yang sebelumnya telah saya dapat ketika kecil

dan saya pun membentuk opini dan persepsi tentang tipe ideal saya, seperti apa laki-laki yang saya sukai atau membuat saya tertarik.

Hal ini wajar, bukan masalah. Masalahnya, saya akhirnya secara spontan, tidak sengaja, dan tidak bermaksud menghina tapi kata-kata yang tidak respek ke luar dari mulut saya tanpa dapat saya kendalikan.

Kemudian sesaat setelah itu saya akan menyesal dan berfikir ulang.

Saya sendiri mungkin bisa dikatakan masuk kategori yang biasa orang-orang katakan perempuan tomboy/ boyish/ kelaki-lakian, apakah mungkin dari penampilan, cara berpakaian, atau mungkin juga dari cara berfikir, sikap dan perilaku.

Dan saya sendiri sangat memahami kenapa bisa seperti ini. Saya mengerti dan tidak menyalahkan diri saya seperti ini, hal ini tidak ada yang salah.

Semua itu bisa terbentuk karena pola asuh orang tua, kondisi keluarga, lingkungan, pendidikan dan sebagainya. Hal itupun dapat terjadi pada laki-laki yang saya sebutkan sebagai contoh tadi.

Meski mungkin orang tersebut ingin berubah misalnya, merubah cara bicaranya, gesturnya, sikap dan cara berfikir serta berperilaku; ini semua akan sulit.

Mungkin jika merubah gaya rambut, penampilan, pakaian tidak akan terlalu sulit. Tapi tetap saja ini semua bukan kesalahan individu tersebut. Dan memang sebenarnya itu bukan kesalahan.

Yang salah adalah cara pandang/ persepsi. Itu awal yang dapat menjadi perdebatan. Semuanya bersumber dari persepsi yang berbeda-beda dalam menilai sesuatu atau seseorang.

Saat ini saya mulai berusaha mengerem (mengendalikan) kebiasaan komentar spontan yang kurang santun tentang laki-laki yang mungkin tidak sesuai dengan tipe ideal/ idaman saya. :D

Kembali pada pemahaman yang salah/ kurang tepat yang telah ditanamkan pada anak sejak masa kanak-kanak akan terbawa terus sampai dewasa/ tua dan sulit untuk menghapus atau merubahnya.

Hal ini menjadi tugas kita yang peduli terkait isu keadilan dan kesetaraan gender dikaitkan/ dihubungkan dengan pendidikan, utamanya pendidikan anak atau usia dini, untuk berusaha meluruskan hal ini, dengan edukasi mungkin.

Saya baru bisa mengkritisi dan menulis postingan ini sebagai salah satu kontribusi dalam mengajak pembaca untuk merenungkan tentang masalah ini;

serta mengajak teman-teman aktivis keadilan dan kesetaraan gender, aktivis pendidikan, utamanya pendidikan anak-anak untuk membicarakan/ mengkaji masalah ini.

Hal ini juga menjadi PR bagi guru-guru khususnya TK,  pemerintah dalam hal ini kementerian, dan pemangku kepentingan untuk mempertimbangkan masukan saya dan mengkaji ulang isi dari buku, kurikulum dan ajaran yang diajarkan di sekolah.

Orang tua pun dapat turun andil dalam hal ini, saya harap orang tua bisa lebih bijak dalam mendidik anak-anaknya.

Ciri-ciri gender seperti yang diutarakan di buku TK karya PGRI Tulungagung kurang tepat menurut saya.

Karena pemahaman seperti itu akan mempengaruhi cara pandang dan bersikap/ bertingkah laku seseorang, tidak hanya terhadap orang lain namun juga pada diri sendiri.

Dan dampaknya pun dapat menghambat pergaulan/ kehidupan sosial dan karir seseorang.

Semoga keadilan dan kesetaraan gender dapat diterapkan di Indonesia dalam segala bidang serta tidak ada lagi kekerasan berdasarkan gender (Gender-Based Violence) ya...  

No comments:

Post a Comment