Penelitian yang dilakukan Max Weber di
tahun 1947 pada organisasi publik dan swasta telah menyimpulkan bahwa
organisasi-organisasi yang ingin memenuhi persyaratan-persyaratan dari
masyarakat industrial yang semakin kompleks, harus menjalankan langkah-langkah
berikut ini:
- Melakukan spesialisasi bagi para karyawannya secara intens
- Melakukan penyatuan peraturan dengan prosedur
- Membangun struktur hirarki yang ketat
- Melaksanakan proses rekrutmen dan promosi anggota baru hanya berdasarkan pada kompetensi yang telah dimiliki
- Menyusun peraturan dan keputusan administratif secara baku dan tersurat
- Pemberian wewenang (otoritas) harus selalu ditopang dengan rasionalitas dan legitimasi
Menurut Weber jika asumsi tersebut
terpenuhi barulah kita dapat diskusikan mengenai model konfigurasi
keorganisasian yang superior (unggul/
canggih) yaitu birokrasi.
Suatu formasi birokratik sesungguhnya adalah satu-satunya bentuk
organisasi yang bisa menjamin bahwa pertanyaan-pertanyaan mendasar keorganisasian
yang terkait dengan penambahan skala aktivitas dari organisasi tersebut akan
selalu memperoleh respon yang rasional.
Bagi
Weber sebuah organisasi birokratik (birokratisasi) adalah identik dengan sebuah
organisasi yang rasional. Weber juga berpendapat bahwa
birokrasi-birokrasi pun merupakan hasil produk rasional dari social engineering yang kehadirannya tak
mungkin terelakkan lagi (Stark, 2004).
DISFUNGSI-DISFUNGSI PADA BIROKRATISASI ORGANISASI
Meski Weber mempunyai keyakinan kuat bahwa birokratisasi merupakan
pengejawantahan model organisasi yang paling superior namun beliau tidak memungkiri adanya kemungkinan
kekurangan-kekurangan tertentu. Format birokratisasi organisasi bukanlah sebuah
tujuan akhir yang ingin dicapai melainkan hanyalah sebuah instrumen untuk
menerapkan rasionalitas ke dalam atmosfer organisasi. Seandainya terjadi
pergeseran sampai melampaui batas-batas yang terkandung dalam birokratisasi
organisasi sehingga mengganggu rasionalitas organisasi dan kemudian berpengaruh
negatif terhadap kinerjanya maka Weber akan menyebut organisasi tersebut
sebagai sebuah “birokrasi yang telah
menyimpang dari makna kebirokrasiannya”.
Weber juga menyadari keterbatasan jangkauan antara kinerja yang
optimal dengan kapasitas birokrasi. Bila kinerja optimal sudah melebihi kapasitasnya
maka birokrasi justru akan menjadi beban yang menghambat efisiensi dan
efektivitas dari organisasi.
Pengkritisan
konsepsi-konsepsi dasar dari pola pikir Weberian dikupas secara tajam dengan
pendekatan yang berbasis pada teori-teori yang menyandingkan antara rational choice dengan public choice (Farrel, 1999).
Teoritis penganjur public choice berpendapat
bahwa asumsi-asumsi Weber tentang rasionalitas kurang sesuai dengan kenyataan
empiriknya. Menurut analisis Weber, nalar rasionalitas pada perilaku individu
terbentuk melalui kehadiran suatu supra struktur rasional yang sah secara hukum
(Conybeare, 1984). Dengan menempatkan
para partisipan ke dalam atmosfer yang rasional maka secara spontan mereka akan
bertingkah laku rasional yang bermanfaat bagi organisasi. Para penganut teori public choice menentang analisis Weber tersebut
dan menyalahkannya sebagai seorang pakar yang mengabaikan kenyataan akan adanya
perbedaan motivasional di antara para partisipan organisasi.
Dengan dukungan pandangan mazhab ekonomi neoklasik maka para teorisi
public choice menyimpulkan bahwa
sumber energi yang bisa dijadikan penggerak utama untuk memotivasi para
partisipan organisasi hanyalah jika mereka secara individual berkeyakinan
terbuka kesempatan untuk meraih manfaat seoptimal mungkin (Heywood, 1997).
Menurut Niskanen motivasi para
partisipan organisasi publik secara primer cenderung digerakkan oleh
pertimbangan mementingkan kelancaran karirnya, karenanya beberapa dari mereka
sering berupaya melipatgandakan anggaran organisasinya. Pemekaran organisasi
akan menyediakan peluang untuk mempertahankan jabatan, promosi yang lebih
cepat, bertambahnya pendapatan dan memperkokoh kekuasaan.
Adanya upaya para birokrat untuk memaksimalkan anggaran, ditambah dengan
tidak berfungsinya mekanisme pasar mengakibatkan banyak birokrasi mekar tak
terkendali, bahkan berjalan semakin melenceng dari pencanangan sasaran semula,
dimana hal tersebut justru menyuratkan ketidakefisienan (Niskanen, 1971).
Ketidakpercayaan terhadap adanya korelasi antara tindakan-tindakan
rasional dari para anggota organiasasi dengan tercapainya sasaran-sasaran
organisasi seperti yang telah disampaikan Weber, terungkap kembali pada studi
yang dilakukan oleh Merton.
Merton menekankan adanya predisposisi tentang
“kepribadian-kepribadian seorang birokrat” sebagai salah satu penyebab utama
terjadinya disfungsi pada organisasi-organisasi birokratik (Merton, 1957).
Dipicu oleh birokratisasi organisasi
sendiri, seseorang yang berkepribadian birokrat dengan sendirinya secara
alamiah akan menyatu dengan peraturan-peraturan dan prosedur-prosedur
organisasi sehingga kepatuhan terhadap tata tertib keorganisasian menjadi
sebuah obsesi yang direalisasikan. Bahkan mereka cenderung lebih mementingkan
pelaksaksanaan prosedur organisasi dibandingkan efektivitas dan efisiensinya. Jadi, pemaknaan
terhadap prosedur yang seharusnya dianggap sebagai sarana atau alat (instrument/ tool) untuk mencapai sesuatu
justru berubah menjadi salah satu sasaran atau tujuan (goal) yang ingin diraih organisasi. Akibatnya dalam
perilaku berorganisasi individu cenderung memunculkan karakteristik pembawaan
dirinya yang tidak sesuai dengan karakteristik rasional yang dikehendaki.
Itulah kelemahan birokrasi. Selain itu
juga terdapat fenomana lain yang paradoksal, yaitu rigiditas (kekakuan) penyerahan
diri sepenuhnya terhadap peraturan organisasi justru berdampak pada berkurangnya
tingkat pencapaian sasaran.
Paradoks itulah yang menjadi pemicu kritikan
yang ditujukan pada birokratisasi orgnisasi, dimana dengan struktur-struktur
homogen seharusnya dapat menjamin terlaksananya efisiensi dan efektivitas
organisasi, namun pada prakteknya justru menghambat kinerja organisasi.
Pembakuan (formalisasi) yang dipaksakan nantinya dapat saja mereduksi kapasitas
adaptasi dari organisasi. Spesialisasi kerja yang terlalu ketat dikhawatirkan
akan menciptakan rigiditas dan misskomunikasi. Suatu regulasi yang berlebihan
akan membatasi terjadinya transfer pengetahuan dalam organisasi dan mempersulit
terbentuknya perilaku keorganisasian yang sesuai dengan kebutuhan (Jaffe,
2001).
Terkuaknya paradoks tersebut justru
berakar dari gagasan Weber sendiri yang memilah antara rasionalitas formal
dengan rasionalitas substansif. Rasionalitas
formal tertuju pada pengembangan instrumen dan metode-metode yang digunakan
memfasilitasi tercapainya realisasi efisiensi sasaran-sasaran organisasi.
Sementara rasionalitas substansif
tertuju pada penentuan kriteria yang memperbolehakan organisasi (sosial)
mengadopsi nilai-nilai yang lebih manusiawi seperti kebebasan, kreativitas,
otonomi, dan demokrasi. Tirai paradoks birokrasi semakin tersingkap ketika
fakta berbicara bahwa birokratisasi organisasi terlampau menganakemaskan
rasionalitas formal dan meninabobokan rasionalitas substansif (Jaffe, 2001).
[Referensi:
Manajemen Stratgeik Keorganisasian Publik karya Aime Heene & Sebastian
Desmidt, disadur oleh Faisal Affif & Ismeth Abdullah]
No comments:
Post a Comment