| Home | Book-Literature | Inspiring-Religion | Economy-Business | Social-Cultural-Languange | Politics-Conspiracy | Health-Sport | Music-Movie | Femininity-Parenting |

Tuesday 20 January 2015

BIROKRATISASI WEBER



    Penelitian yang dilakukan Max Weber di tahun 1947 pada organisasi publik dan swasta telah menyimpulkan bahwa organisasi-organisasi yang ingin memenuhi persyaratan-persyaratan dari masyarakat industrial yang semakin kompleks, harus menjalankan langkah-langkah berikut ini:
  1. Melakukan spesialisasi bagi para karyawannya secara intens
  2. Melakukan penyatuan peraturan dengan prosedur
  3. Membangun struktur hirarki yang ketat
  4. Melaksanakan proses rekrutmen dan promosi anggota baru hanya berdasarkan pada kompetensi yang telah dimiliki
  5. Menyusun peraturan dan keputusan administratif secara baku dan tersurat
  6. Pemberian wewenang (otoritas) harus selalu ditopang dengan rasionalitas dan legitimasi
 
Menurut Weber jika asumsi tersebut terpenuhi barulah kita dapat diskusikan mengenai model konfigurasi keorganisasian yang superior (unggul/ canggih) yaitu birokrasi.

Suatu formasi birokratik sesungguhnya adalah satu-satunya bentuk organisasi yang bisa menjamin bahwa pertanyaan-pertanyaan mendasar keorganisasian yang terkait dengan penambahan skala aktivitas dari organisasi tersebut akan selalu memperoleh respon yang rasional.

Bagi Weber sebuah organisasi birokratik (birokratisasi) adalah identik dengan sebuah organisasi yang rasional. Weber juga berpendapat bahwa birokrasi-birokrasi pun merupakan hasil produk rasional dari social engineering yang kehadirannya tak mungkin terelakkan lagi (Stark, 2004).

DISFUNGSI-DISFUNGSI PADA BIROKRATISASI ORGANISASI
  Meski Weber mempunyai keyakinan kuat bahwa birokratisasi merupakan pengejawantahan model organisasi yang paling superior namun beliau tidak memungkiri adanya kemungkinan kekurangan-kekurangan tertentu. Format birokratisasi organisasi bukanlah sebuah tujuan akhir yang ingin dicapai melainkan hanyalah sebuah instrumen untuk menerapkan rasionalitas ke dalam atmosfer organisasi. Seandainya terjadi pergeseran sampai melampaui batas-batas yang terkandung dalam birokratisasi organisasi sehingga mengganggu rasionalitas organisasi dan kemudian berpengaruh negatif terhadap kinerjanya maka Weber akan menyebut organisasi tersebut sebagai sebuah “birokrasi yang telah menyimpang dari makna kebirokrasiannya”.

Weber juga menyadari keterbatasan jangkauan antara kinerja yang optimal dengan kapasitas birokrasi. Bila kinerja optimal sudah melebihi kapasitasnya maka birokrasi justru akan menjadi beban yang menghambat efisiensi dan efektivitas dari organisasi.

      Pengkritisan konsepsi-konsepsi dasar dari pola pikir Weberian dikupas secara tajam dengan pendekatan yang berbasis pada teori-teori yang menyandingkan antara rational choice dengan public choice (Farrel, 1999). Teoritis penganjur public choice berpendapat bahwa asumsi-asumsi Weber tentang rasionalitas kurang sesuai dengan kenyataan empiriknya. Menurut analisis Weber, nalar rasionalitas pada perilaku individu terbentuk melalui kehadiran suatu supra struktur rasional yang sah secara hukum (Conybeare, 1984). Dengan menempatkan para partisipan ke dalam atmosfer yang rasional maka secara spontan mereka akan bertingkah laku rasional yang bermanfaat bagi organisasi. Para penganut teori public choice menentang analisis Weber tersebut dan menyalahkannya sebagai seorang pakar yang mengabaikan kenyataan akan adanya perbedaan motivasional di antara para partisipan organisasi.

Dengan dukungan pandangan mazhab ekonomi neoklasik maka para teorisi public choice menyimpulkan bahwa sumber energi yang bisa dijadikan penggerak utama untuk memotivasi para partisipan organisasi hanyalah jika mereka secara individual berkeyakinan terbuka kesempatan untuk meraih manfaat seoptimal mungkin (Heywood, 1997).

Menurut Niskanen motivasi para partisipan organisasi publik secara primer cenderung digerakkan oleh pertimbangan mementingkan kelancaran karirnya, karenanya beberapa dari mereka sering berupaya melipatgandakan anggaran organisasinya. Pemekaran organisasi akan menyediakan peluang untuk mempertahankan jabatan, promosi yang lebih cepat, bertambahnya pendapatan dan memperkokoh kekuasaan.
Adanya upaya para birokrat untuk memaksimalkan anggaran, ditambah dengan tidak berfungsinya mekanisme pasar mengakibatkan banyak birokrasi mekar tak terkendali, bahkan berjalan semakin melenceng dari pencanangan sasaran semula, dimana hal tersebut justru menyuratkan ketidakefisienan (Niskanen, 1971).

     Ketidakpercayaan terhadap adanya korelasi antara tindakan-tindakan rasional dari para anggota organiasasi dengan tercapainya sasaran-sasaran organisasi seperti yang telah disampaikan Weber, terungkap kembali pada studi yang dilakukan oleh Merton.

Merton menekankan adanya predisposisi tentang “kepribadian-kepribadian seorang birokrat” sebagai salah satu penyebab utama terjadinya disfungsi pada organisasi-organisasi birokratik (Merton, 1957).

Dipicu oleh birokratisasi organisasi sendiri, seseorang yang berkepribadian birokrat dengan sendirinya secara alamiah akan menyatu dengan peraturan-peraturan dan prosedur-prosedur organisasi sehingga kepatuhan terhadap tata tertib keorganisasian menjadi sebuah obsesi yang direalisasikan. Bahkan mereka cenderung lebih mementingkan pelaksaksanaan prosedur organisasi dibandingkan efektivitas dan efisiensinya. Jadi, pemaknaan terhadap prosedur yang seharusnya dianggap sebagai sarana atau alat (instrument/ tool) untuk mencapai sesuatu justru berubah menjadi salah satu sasaran atau tujuan (goal) yang ingin diraih organisasi. Akibatnya dalam perilaku berorganisasi individu cenderung memunculkan karakteristik pembawaan dirinya yang tidak sesuai dengan karakteristik rasional yang dikehendaki.

Itulah kelemahan birokrasi. Selain itu juga terdapat fenomana lain yang paradoksal, yaitu rigiditas (kekakuan) penyerahan diri sepenuhnya terhadap peraturan organisasi justru berdampak pada berkurangnya tingkat pencapaian sasaran.
Paradoks itulah yang menjadi pemicu kritikan yang ditujukan pada birokratisasi orgnisasi, dimana dengan struktur-struktur homogen seharusnya dapat menjamin terlaksananya efisiensi dan efektivitas organisasi, namun pada prakteknya justru menghambat kinerja organisasi. Pembakuan (formalisasi) yang dipaksakan nantinya dapat saja mereduksi kapasitas adaptasi dari organisasi. Spesialisasi kerja yang terlalu ketat dikhawatirkan akan menciptakan rigiditas dan misskomunikasi. Suatu regulasi yang berlebihan akan membatasi terjadinya transfer pengetahuan dalam organisasi dan mempersulit terbentuknya perilaku keorganisasian yang sesuai dengan kebutuhan (Jaffe, 2001).

Terkuaknya paradoks tersebut justru berakar dari gagasan Weber sendiri yang memilah antara rasionalitas formal dengan rasionalitas substansif. Rasionalitas formal tertuju pada pengembangan instrumen dan metode-metode yang digunakan memfasilitasi tercapainya realisasi efisiensi sasaran-sasaran organisasi. Sementara rasionalitas substansif tertuju pada penentuan kriteria yang memperbolehakan organisasi (sosial) mengadopsi nilai-nilai yang lebih manusiawi seperti kebebasan, kreativitas, otonomi, dan demokrasi. Tirai paradoks birokrasi semakin tersingkap ketika fakta berbicara bahwa birokratisasi organisasi terlampau menganakemaskan rasionalitas formal dan meninabobokan rasionalitas substansif (Jaffe, 2001).
           




[Referensi: Manajemen Stratgeik Keorganisasian Publik karya Aime Heene & Sebastian Desmidt, disadur oleh Faisal Affif & Ismeth Abdullah]


 

No comments:

Post a Comment