| Home | Book-Literature | Inspiring-Religion | Economy-Business | Social-Cultural-Languange | Politics-Conspiracy | Health-Sport | Music-Movie | Femininity-Parenting |

Thursday 29 January 2015

ATAS NAMA KEHORMATAN (DESHONORE)



       “Atas Nama Kehormatan”, buku ini  dapat membakar semangat untuk bangkit dari keterpurukan dan memberi inspirasi orang-orang lain terutama perempuan khususnya bagi korban ketidakadilan dan kekerasan ataupun pengekangan, baik secara fisik maupun psikologis. Buku ini diterbitkan oleh Pustaka Alvabet berisi 204 halaman dengan ukuran 12,5x20 cm. Cerita dipaparkan oleh Mukhtar Mai (kakak perempuan yang dihormati) dan ditulis dengan bantuan Marie-Therese Cuny, seorang penulis yang sudah lama memperjuangkan hak-hak perempuan. Buku yang terbit pertama kali di Prancis 12 Januari tahun 2006 dengan judul “Deshonore” (Oh! Edition) dan kemudian pada 31 Oktober tahun yang sama dirilis di AS dengan judul “In The Name of Honor” ini merupakan sebuah memoar (true story) inspirasional dan menggugah tentang perjuangan seorang perempuan dalam menghadapi ujian yang sangat berat dalam hidupnya. Bagi perempuan manapun, peristiwa yang dihadapi Mukhtar Mai (MM) merupakan kisah tragis yang sulit dijalani, diingat, diceritakan. Namun demi keadilan, kehormatan serta harapan untuk kebaikan perempuan lain di seluruh dunia ini, MM, seorang perempuan Pakistan berani membuka lukanya dan menceritakan “kejahatan kehormatan” yang dialaminya yang merupakan aib baginya dan keluarganya, juga telah mencoreng kehormatan hukum/ pengadilan negeri pecahan India itu.

        Mukthar Mai (MM) bernama asli Mukhtaran Bibi. Nama populer Mukhtar Mai yang berarti “kakak perempuan yang dihormati” didapatkannya dari perjuangan berat nan panjang yang telah dilakukannya selama ini. MM adalah janda tanpa anak berusia 32 tahun yang merupakan anak seorang petani miskin. Beliau tinggal di Meerwala, sebuah desa kecil di selatan Punjab yang berdekatan dengan perbatasan India. Pada bulan Juni 2002 MM diperkosa oleh empat orang laki-laki dari suku klan Mastoi di desanya. Perkosaan tersebut adalah hukuman adat atas “kejahatan susila” yang dituduhkan terhadap adik laki-lakinya bernama Abdul Syakur yang baru berusia 12 tahun. Syakur difitnah telah melakukan zina (ziadti) dengan perempuan bernama Salma berusia lebih tua darinya (sekitar 27 tahun) yang merupakan anak dari suku Mastoi yang berkasta lebih tinggi. Syakur telah ditahan polisi. Sedang MM terpaksa harus menjalani hukuman untuk menebus kehormatan keluarganya yang bersuku Gujar, kasta lebih rendah dari Mastoi. Di depan pengadilan adat Dewan Jirga, MM bertekuk lutut meminta belas kasihan atas nama keluarganya dan memohon agar adiknya dibebaskan. Namun ternyata apa yang dilakukan MM justru mendapat tanggapan berupa tindakan bringas dari empat laki-laki Mastoi. MM diseret ke sebuah gubuk kemudian ditelanjangi dan disetubuhi secara paksa. Setelah diperkosa tubuh MM dibiarkan begitu saja tergeletak seorang diri di luar gubuk dengan setengah telanjang karena hanya dibalut pakaian yang telah terkoyak-koyak. Ratusan pasang mata penduduk desa yang melihatnya hanya diam tak berbuat-buat apa. MM hanya dapat menangis dan menjerit dalam hati, menahan sakit, malu dan marah.

        Pengalaman pahit MM ini telah mengundang banyak perhatian dari kalangan jurnalis juga aktivis perempuan serta pembela hak asasi manusia. MM dengan sangat berani berjuang melawan penindasan di desanya di mana itu justru difasilitasi atau dilindungi oleh dewan adat. Kebanyakan perempuan yang menjadi korban pemerkosaan akan lebih memilih untuk diam kemudian bunuh diri. Namun tidak dengan perempuan buta huruf ini. Meski beliau bukan termasuk perempuan yang berpendidikan namun tidak menghalangi niatnya untuk bangkit melawan ketidakadilan dan memperjuangkan hak-hak serta kehormatan diri, keluarga dan perempuan pada umumnya. Beliau mempunyai cita-cita mulia yaitu memberikan pendidikan dan pengobatan gratis kepada warga di desanya terutama perempuan agar tidak mengalami kesialan seperti dirinya. Beliau ingin memberantas kebodohan dan  penindasan di desanya. Kisah MM ini juga telah terangkum dalam film dokumenter tentang kekerasan seksual di Pakistan dengan judul “Land, Gold and Women”.    


      Berikut hasil perjuangan panjang MM dan beberapa apresiasi untuk beliau. Pada tanggal 5 Juli 2002 MM menerima uang kompensasi sebesar USD 8.200 dari pemerintah Pakistan. Dengan uang itu MM mendirikan pusat perlindungan dan pendidikan bagi perempuan “The Mukhtar Mai Womens’s Welfare Organization”. Tanggal 2 Agustus 2005 pemerintah Pakistan menganugerahi medali emas Fatima Jinnah atas keberanian dan keteguhan MM. 2 November 2005 Majalah AS “Glamour” menjuluki MM sebagai “Woman of The Year”. Tanggal 2 Mei 2006 di markas PBB MM menyampaikan pesan pada dunia bahwa seseorang harus berjuang demi hak mereka dan hak geerasi berikutnya. Bulan Desember 2006 MM dinobatkan sebagai salah satu dari 100 Tokoh Paling Berpengaruh di Dunia versi Majalah “TIME”. Atas kontribusi MM terhadap Hak Asasi Manusia (HAM) pada Maret 2007 Dewan Eropa menghadiahinya Nourth-South Prize (2006).

        Di bawah ini saya sajikan juga beberapa kutipan yang saya ambil dari buku “Atas Nama Kehormatan” agar dapat memberikan inspirasi pada kita semua utamanya para perempuan. :)

“Kepercayaanku pada keadilan Tuhan mungkin lebih besar dari rasa percayaku pada keadilan manusia.” (MM)

“Kau takut pada setiap orang dan setiap hal. Jika kau terus bersikap seperti itu maka kau tak akan pernah berhasil. Kau harus menghadapi masalahmu sendiri.” (Naseem Akhtar)

“Ketidaksukaan laki-laki atas intelegensi yang dimiliki perempuanlah yang menjadi faktor tersingkirnya perempuan.” (MM)

“Perempuan harus menemukan pemahaman diri sendiri sebagai manusia juga menghormati diri sendiri sebagai seorang perempuan.” (MM)

“Aku percaya Tuhan, aku mencintai desaku, negaraku. Aku ingin mengubah keadaan negeri ini, membantu seluruh korban pemerkosaan dan generasi anak-anak perempuan di masa depan.” (MM)

“Apakah menjadi suatu dosa di negara jika seseorang dilahirkan miskin dan sebagai seorang perempuan?” (Mera Kya Kasur)

“Seseorang tidak seharusnya merasa bersalah atas kejahatan orang lain.” (Mera Kya Kasur)

“Hanya perempuan yang dapat mengerti betapa hancurnya, secara fisik dan psikologis, seorang perempuan setelah mengalami pemerkosaan...” (MM)

“Aku bukan hanya berjuang untuk diriku sendiri tapi juga untuk seluruh perempuan yang telah dihina atau diabaikan...” (MM)

“Kehormatan sejati tanah kelahiranku adalah memberikan kesempatan kepada perempuan, baik yang berpendidikan maupun yang buta huruf untuk menyuarakan protes demi menentang ketidakadilan yang dialaminya.” (MM)

"Jika kehormatan laki-laki terletak pada perempuan, lalu mengapa laki-laki ingin memperkosa atau membunuh kehormatan tersebut?” (MM) 


Thursday 22 January 2015

ANAKKU BERTANYA TENTANG LGBT

       Buku karya Sinyo (Agung Sugiarto) ini diterbitkan oleh Quanta, group Kompas Gramedia Elex Media Komputindo. Seperti buku sebelumnya,  Dua Wajah Rembulan (DWR) yang dierbitkan oleh Indie Pro Publishing, buku ini juga membahas tentang dunia LGBT (non-heteroseksual). Namun sesuai judulnya, dalam buku terdapat juga cara orang tua untuk melakukan pencegahan agar anak tidak melakukan tindakan homoseksual dan tidak mendapat pelecehan seksual; di sini pendidikan seks sejak dini sangat penting, serta hubungan baik antara orang tua dan anak - dalam hal ini termasuk komunikasi yang baik dan tebuka – sangat diperlukan. Tidak berhenti sampai disitu, ada juga kiat-kiat kita dalam menghadapi seseorang yang kita kenal telah melakukan tindakan homoseksual atau jika mengetahui anak kita sendiri mempunyai ketertarikan pada sesama jenis (Same Sex Attraction) atau mengakui dirinya seorang LGBT dan mugkin juga telah melakukan tindakan homoseksual.

       Sesuai dengan judul dan jenis bukunya tentunya. Bahasan tentang LGBT dibahas secara objektif dari berbagai sumber yang bisa dikatakan cukup mewakili dan berimbang. Hanya saja - menurut saya, seperti pada buku sebelumnya DWR yang sudah selesai saya baca juga - dapat saya nilai proporsi bahasan pencegahan dan solusi sangat sedikit dibanding dengan bahasan asal-usul, sejarah dan terkait serba-serbi dunia LGBT. Menurut saya akan lebih bagus lagi jika proporsi bahasan pencegahan dan solusi lebih banyak, atau paling tidak sama dengan serba-serbi dunia LGBT, mengingat buku “Anakku Bertanya Tentang LGBT” ini dimaksudkan untuk memberikan pengetahuan, tips/ kiat-kiat para orang tua terkait dunia LGBT, pencegahan tindakan dan cara menghadapi seseorang yang “ketahuan” atau mengakui telah melakukan tindakan homoseksual maupun yang sekedar mempunyai ketertarikan sesama jenis.

      Buku ini tidak hanya diperuntukan bagi para orang tua yang peduli terhadap perkembangan anaknya, tapi juga para calon orang tua dan siapapun yang ingin mengetahui tentang LGBT sebagai bekal pengetahuan untuk menghadapi permasalahan terkait itu, apakah itu terjadi pada diri sendiri ataupun orang terdekat. Dasar atau sumber yang dipakai penulis tentu saja menurut ajaran Islam, namun dapat dipakai untuk umum, karena Islam adalah ajaran universal, rahmat bagi seluruh alam (rahmatan lil’alamin).

      Penulis (Sinyo) adalah seorang yang concern dengan masalah LGBT ini, bahkan beliau mempunyai group Peduli Sahabat sebagai wadah untuk teman-teman yang ingin berkonsultasi masalah ini. Semoga dengan semakin banyak buku dan group yang terkait LGBT ini akan membantu permasalahan LGBT dan orang-orang yang mencintai atau peduli terhadap mereka. Karena kita sebenarnya turut andil dalam hal ini, secara langsung maupun tidak. Ingatlah untuk tetap memandang mereka sebagai seorang “manusia seutuhnya” bukan hanya ingat “label mereka sebagai LGBT”.


RELATED POST:
DUA WAJAH REMBULAN




“Yang mendengarkan perkataan lalu mengikuti apa yang paling baik di antaranya. Mereka itulah orang-orang yang telah diberi ALLAAH petunjuk dan mereka itulah orang-orang yang mempunyai akal.”
(QS. Az-Zumar: 18)

“Dan janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak mempunyai pengetahuan tentangnya. Sesungguhnya pendengaran, penglihatan dan hati, semuanya itu akan diminta pertanggungjawabannya”.
(QS. Al-Israa’: 36)

“Orang-orang yang mengikuti sesuatu tanpa pengetahuan yang cukup adalah sama dengan orang-orang jahiliyah.”
(Sayyid Quthb)

”Siapa yang sanggup mengelola tekanan, dia yang layak disebut pahlawan.“
(Family DISCovery)

Tuesday 20 January 2015

REFORMASI BIROKRASI



Birokrasi sebagai instrumen dari suatu sistem pemerintahan dalam program mewujudkan kesejahteraan rakyat sangat ditentukan oleh sikap dan perilaku dari segenap pengelola atau birokrat, yaitu kesadaran akan fungsi dan peranannya sebagai abdi masyarakat (public services).

    Membangun pemerintahan yang bersih merupakan syarat utama dalam mewujudkan sistem dan mekanisme roda pemerintahan secara profesional, netral dan akuntabel serta patut diteladani dalam kepemimpinan sehingga mampu mencegah praktek KKN (Korupsi, Kolusi dan Nepotisme) sebagai penghambat usaha-usaha efektif dan efisien. Pemerintahan yang bersih akan terwujud jika dibangun oleh aparat yang bersih. Orang-orang yang bersih hanya ada pada mereka yang konsisten terhadap nilai-nilai agama yang diyakininya. Karenanya sebuah institusi pemerintahan dan penyelenggara administrasi negara harus sarat dengan nilai-nilai religius, beradab, bersih, kompeten, profesional, dan berpihak pada kepentingan publik tentunya. Inti permasalahan dalam membangun birokrasi yang efektif dan efisien adalah menempatkan para birokrat sesuai dengan kebutuhan, fungsi dan peranannya secara kompeten dan profesional, dengan latar belakang persyaratan yang harus dipenuhinya (the right man on the right place).
  
Salah satu potret buruk birokrasi adalah tingginya biaya yang dibebankan untuk layanan publik, waktu tunggu yang lama dan banyaknya pintu layanan yang harus dilewati. Selain itu juga karena kompetensi aparatur birokrasi yang rendah yang disebabkan rendahnya kualitas rekruitmen dan pembinaaan pegawai serta lebih dominannya kepentingan politis dalam kinerja birokrasi.

     Permasalahan dasar yang dihadapi bIrokrasi pemerintah adalah terdapatnya kecenderungan distrust (penurunan kepercayaan) masyarakat pada pemerintah. Hal ini disebabkan karena birokrasi pemerintah selama ini masih lamban dalam menyesuaikan diri dan merespon perkembangan yang semakin pesat sehingga belum maksimal dalam memenuhi tuntutan masyarakat.
Krisis kepercayaan masyarakat terhadap birokrasi pemerintah tersebut disebabkan karena rendahnya kesadaran PNS (Pegawai Negeri Sipil) pada kedudukan dan perannya, sebagaimana telah diamanatkan oleh Undang-Undang No. 43 Tahun 1999 tentang Perubahan Atas Undang-Undang No. 8 Tahun 1974 tentang Pokok-pokok Kepegawaian. Dalam undang-undang tersebut telah dtegaskan bahwa pegawai negeri merupakan unsur aparatur negara yang bertugas untuk memberikan pelayanan kepada masyarakat secara profesional, jujur, adil, dan merata dalam penyelenggaraan tugas negara, pemerintahan dan pembangunan.

     Perjalanan birokrasi di negeri kita Indonesia sangat dipengaruhi oleh beraneka ragam budaya dengan latar belakang karakter yang berbeda-beda sejak era pemerintahan berbentuk kerajaan, kolonialisme sampai pada era kemerdekaan. Birokrasi kita sejak terbebas dari cengkraman penjajah dan pada awal kemerdekaan yang kemudian disusul dengn lahirnya partai-partai politik dengan kepentingan politik yang didasarkan pada ideologi dan kekuasaan, birokrasi kita tidak pernah netral sebagai aparatur yang seharusnya berpihak kepada publik, bahkan cenderung sebagai mesin politik dan alat kekuasaan.
Jika dilihat dari perspektif historis, birokrasi telah menjadikan publik sebagai objek kekuasaan. Ketidakberpihakan birokrasi kepada publik ini tidak lepas dari awal kemunculan mereka yang merupakan kepanjangan tangan pemerintah kolonial pada masa itu untuk mengeksploitasi publik. Hal ini berlanjut pada kurun waktu rezim orde baru berkuasa.
Kondisi objektif birokrasi yang demikian lama diwarnai oleh kekuasaan atas publik akan membutuhkan waktu yang lama untuk mengubahnya menjadi kekuasaan untuk publik.

Kinerja birokrasi yang buruk pada akhirnya akan dapat mempengaruhi gerak pembangunan dan daya saing ekonomi nasional dan global. Jika kita ingin menjadi negara maju dan terdepan dalam pembangunan maka reformasi birokrasi menjadi suatu keniscayaan.

Reformasi birokrasi mengisyaratkan adanya perubahan paradigma pengelolaan pemerintahan yang akan berimplikasi pada reformasi sistem kepegawaian. Sistem yang sebelumnya dengan pendekatan tata usaha kepegawaian dipandang sudah tidak relevan lagi dengan dinamika perkembangan masyarakat dan pemerintahan. Agar good governance dan pemerintahan yang bertanggung jawab dapat terwujud maka perlu adanya reformasi sistem kepegawaian yang diarahkan pada pengembangan aparatur/ SDM secara holistik dan terintegrasi.

    Siapapun yang memimpin bangsa ini tidak boleh berhenti berupaya melakukan terobosan agar birokrasi kita menjadi lebih efisien dan efektif serta kondusif bagi pembangunan dan kesejahteraan masyarakat. Hal ini memang tidak semudah membalikkan telapak tangan namun menyederhanakan birokrasi dirasa perlu agar lebih mudah namun tidak menyalahi aturan, tidak menimbulkan high cost economic (biaya ekonomi yang tinggi), netral dan tidak diskriminasi dalam memberikan pelayanan. Dengan begitu sistem birokrasi di negeri ini tidak akan lagi menjadi beban ataupun batu sandungan bagi peningkatan kinerja ekonomi nasional.      

     Masih adanya lembaga departemen maupun nondepartemen atau dinas daerah yang dibentuk tanpa mempertimbangkan kebutuhan riil daerah, bahkan ada yang eksistensinya hanyalah untuk mengakomodasi kepentingan kelompok tertentu, mengakibatkan terjadinya inefisiensi dan inefektivitas birokrasi.

     Mengingat karakteristik masyarakat yang kini semakin kritis menjadikan tantangan peningkatan kualitas pelayanan publik semakin relevan. Sikap kritis ini karena kuantitas masyarakat yang berpendidikan tinggi terus meningkat. Kemakmuran status ekonomi masyarakat memicu terciptanya kebutuhan-kebutuhan pelayanan publik baru yang perlu dipenuhi pemerintah sehingga tuntutan publik atas pelayanan menjadi kian kompleks.

Karenanya birokrasi harus berupaya untuk memunculkan jiwa kewirausahaan. Jiwa kewirausahaan adalah kemampuan mencari cara baru guna memaksimalkan produktivitas dan efektivitas agar birokrasi dapat beradaptasi dengan era globalisasi yang berlangsung cepat seiring perkembangan teknologi yang kian canggih. Kondisi ini mengharuskan organisasi publik siap melakukan perubahan fundamental organisasional demi menuju good governance.
Sehingga perlu juga dilakukan revitalisasi birokrasi melalui optimalisasi kapasitas birokrasi, mencakup bebrapa aspek diantaranya:
  1. Aspek kelembagaan; dengan melakukan restrukturisasi fungsi dan organisasi birokrasi yang semula besar menuju sebuah organisasi birokrasi yang ramping, cepat dan murah
  2. Aspek sumber daya manusia (SDM); dengan menciptakan SDM yang kompeten di bidangnya melalui beberapa strategi yaitu proses rekrutmen, pensiun dini, pelatihan dan pengembangan pegawai serta peninjauan sistem karir yang baik dan rapi
  3. Aspek manajemen organisasi dan keuangan; perspektif manajemen dan keuangan dengan membentuk birokrasi modern yang secara fisik organisasional kecil namun secara kualitatif berkapasitas besar, sehingga kualitas pelayanan publik yang diberikan semakin baik dengan biaya dapat ditekan.

     Sesungguhnya birokrasi adalah tipe organisasi yang dirancang untuk menyelesaikan tugas-tugas administratif dalam skala besar dengan cara mengkoordinasi pekerjaan banyak orang secara sistematis. Dengan kata lain birokrasi merupakan alat atau instrumen untuk memuluskan jalannya pelaksanaan/ implementasi kebijakan pemerintah dalam usaha melayani masyarakat. Dalam kaitannya dengan hal ini, konsep ideal Weber masih relevan untuk dijadikan rujukan, tentu dengan beberapa penyesuaian.
Tipe ideal organisasi bagi Weber melekat dalam struktur organisasi rasional dengan prinsip rasionalitas yang bercirikan pembagian kerja, pelimpahan wewenang, impersonalitas, kualifikasi teknis, dan efisiensi. Pada dasarnya tipe ideal birokrasi yang digagas Weber mempunyai tujuan untuk menghasilkan efisiensi dalam pengaturan negara. Namun dalam prakteknya konsep Weber tidak sepenuhnya sesuai dengan kondisi terkini, apalagi dalam konteks negara Indonesia, masih perlu ada pembaharuan makna dan kandungan birokrasi.
Pada pandangan tersebut birokrasi dimaknai sebagai institusi formal yang memerankan fungsi pengaturan, pelayanan, pembangunan, dan pemberdayaan masyarakat. So, birokrasi dalam pengertian Weberian adalah fungsi dari biro untuk menjawab secara rasional terhadap serangkaian tujuan yang ditetapkan pemerintah. Birokrasi Weber berparadigma netral dan bebas nilai. Tidak ada unsur subyektivitas yang masuk dalam pelaksanaan birokrasi karena sifatnya impersonalitas – melepaskan baju individu dengan ragam kepentingan yang ada di dalamnya.
BACA JUGA TENTANG BIROKRASI WEBER DI SINI. 
     Birokrasi sering dikritik dalam prakteknya banyak menimbulkan masalah inefisiensi serta hanya menjadi ajang politisasi yang dilakukan oknum partai yang ingin meraih kekuasaan dan jabatan politis.
Masyarakat memandang kecenderungan birokrasi akhir-akhir ini benar-benar memprihatinkan sehingga diramalkan akan semakin menggejala dan berkembangnya praktek-praktek birokrasi yang tidak bisa lagi dianggap sebagai bencana baru yang menakutkan.
Patologi birokrasi dicirikan oleh kecenderungan patologis terhadap persepsi, perilaku dan gaya manajerial, masalah pengetahuan dan ketrampilan, tindakan melanggar hukum, keperilakuan, dan adanya situasi internal. Birokrasi memiliki kecenderungan mengutamakan kepentingan pribadi (self serving), mempertahankan status quo, resisten terhadap perubahan, dan memusatkan kekuasaan. Hingga birokrasi terkesan lebih mementingkan prosedur dari pada substansi, lamban dan menghambat kemajuan.

     Birokrasi di kebanyakan negara berkembang – termasuk di negara kita, Indonesia – cenderung bersifat patrimonialistik yang tidak efisien, tidak efektif (over consuming and under producing), tidak obyektif, menjadi pemarah ketika dikritik, menghindari kntrol, tidak mengabdi pada kepentingan umum, tidak lagi menjadi pelayan rakyat namun telah menjadi instrumen penguasa dan sering tampil sebagai penguasa yang sangat otoritatif dan represif.
Hal tersebut terlihat dengan adanya gejala yang menunjukkan bahwa birokrasi menghadapi krisis kepercayaan dari masyarakat. Kecaman dan pesimisme semakin jelas terlihat karena banyak anggota masyarakat yang merasakan berbagai perilaku birokrat yang tidak dapat memenuhi tuntutan pembangunan dan perkembangan masyarakat yang dilayaninya.
Birokrasi publik di sektor pemerintahan, pendidikan dan kesehatan misalnya, berada dalam suatu kondisi organizational slack yang ditandai dengan menurunnya kualitas pelayanan yang diberikan. Masyarakat pengguna layanan banyak yang mengeluh dan memberikan semacam public alarm agar pemerintah sebagai instansi yang paling berwenang, responsif terhadap semakin menurunnya kualitas pelayanan kepada masyarakat.

     Pada dasarnya pelayanan publik adalah kegiatan yang dilakukan oleh seseorang atau sekelompok orang atau instansi kepada masyarakat (pengguna layanan) demi mencapai tujuan tertentu. Pelayanan publik ini menjadi semakin penting karena senantiasa berhubungan dengan masyarakat dengan berbagai kepentingan dan tujuan. So, institusi pelayanan publik dapat dilakukan oleh pemerintah ataupun nonpemerintah. Apapun bentuk institusi pelayanannya yang terpenting adalah bagaimana dapat memberikan bantuan dan kemudahan demi memenuhi kebutuhan dan kepentingan masyarakat.

     Untuk merespon kesan buruk birokrasi, birokrasi perlu melakukan perubahan sikap dan perilakunya, antara lain:
  1. Mengutamakan sifat pendekatan tugas yang diarahkan pada pengayoman dan pelayanan masyarakat dan menghindari kesan pendekatan kekuasaan dan kewenangan
  2. Melakukan penyempurnaan organisasi yang bercirikan organisasi modern, ramping, efektif, dan efisien yang mampu membedakan antara tugas-tugas yang perlu ditangani dan yang tidak perlu ditangani – termasuk membagi tugas yang dapat diserahkan ke masyarakat
  3. Melakukan perubahan sistem dan prosedur kerja dimana lebih berorientasi pada ciri-ciri organisasi modern, yakni pelayanan cepat, tepat, akurat, transparan dan berkualitas, serta efisiensi biaya dan ketepatan waktu
  4. Memposisikan diri sebagai fasilitator pelayan publik dari pada sebagai agen pembaharu pembangunan
  5. Melakukan tranformasi diri dari birokrasi yang rigid (kaku) menjadi lebih fleksibel, inovatif, responsif dan desentralistis.
Organisasi birokrasi yang mampu memberi pelayanan publik secara efektif dan efisien pada masyarakat adalah organisasi yang strukturnya terdesentralisasi. Dengan struktur yang terdesentralisasi maka akan lebih mudah mengantisipasi kebutuhan dan kepentingan yang diperlukan masyarakat, sehingga birokrat dapat dengan cepat melayani sesuai harapan masyarakat.

      Selain itu, budaya organisasi birokrasi juga menjadi faktor penting, sehingga perlu dipersiapkan SDM atau aparat yang benar-benar mampu (capability), memiliki loyalitas kepentingan, keahlian (competency), dan mempunyai keterkaitan kepentingan (coherency) dan consistency.

 Pemerintah harus mempersiapkan aparat birokrasi yang profesional yang mampu menguasai teknik-teknik manajemen pemerintahan yang tidak hanya berorientasi pada peraturan (rule oriented), namun lebih pada pencapaian tujuan (goal oriented).

    Berikut ini beberapa solusi strategis untuk mengatasi persoalan kemunduran birokrasi dalam hal pelayanan publik:
  1. Merubah paradigma birokrasi mengenai konsep pelayanan
  2. Menjalankan kebijakan publik yang lebih mengutamakan kepentingan rakyat dibanding penguasa atau elit tertentu
  3. Unsur pemerintah, privat dan masyarakat harus bekerja secara sinergis sesuai dengan peran masing-masing
  4. Membuat dan menjalankan peraturan daerah yang secara jelas dan tegas menerapkan standard minimal pelayanan publik dan saksi bagi yang melanggarnya
  5. Menyusun dan menjalankan mekanisme pengawasan sosial yang jelas mengenai pelayanan publik antara birokrat dan masyarakat yang dilayani
  6. Perlu adanya strong leadership (kepemimpinan yang kuat) dalam melaksanakan komitmen pelayanan publik
  7. Berupaya melakukan reformasi di bidang sistem administrasi publik (administrative reform)
  8. Memberdayakan masyarakat secara berkelanjutan (continuous empowerment) dan demokratis


 
[Referensi: Reformasi Birokrasi Menuju Pemerintahan yang Bersih (Telaah Kritis Terhadap Perjalalan Birokrasi di Indonesia) oleh Ahmad Sumargono]





    “Dan DIA lah yang menjadikan kamu penguasa-penguasa di bumi dan DIA meninggikan sebagian kamu atas sebagian (yang lain) beberapa derajat, untuk mengujimu tentang apa yang diberikan-NYA kepadamu. Sesungguhnya Tuhanmu amat cepat siksaan-NYA dan sesungguhnya DIA Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.”
(QS. Al-An’aam: 165)

“Hai Daud, sesungguhnya Kami menjadikan kamu khalifah (penguasa) di muka bumi, maka berilah keputusan (perkara) di antara manusia dengan adil dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu, karena ia akan menyesatkan kamu dari jalan ALLAAH. Sesungguhnya orang-orang yang sesat dari  jalan ALLAAH akan mendapat azab yang berat, karena mereka melupakan hari perhitungan.”
(QS.Shaad: 26)
 

BIROKRATISASI WEBER



    Penelitian yang dilakukan Max Weber di tahun 1947 pada organisasi publik dan swasta telah menyimpulkan bahwa organisasi-organisasi yang ingin memenuhi persyaratan-persyaratan dari masyarakat industrial yang semakin kompleks, harus menjalankan langkah-langkah berikut ini:
  1. Melakukan spesialisasi bagi para karyawannya secara intens
  2. Melakukan penyatuan peraturan dengan prosedur
  3. Membangun struktur hirarki yang ketat
  4. Melaksanakan proses rekrutmen dan promosi anggota baru hanya berdasarkan pada kompetensi yang telah dimiliki
  5. Menyusun peraturan dan keputusan administratif secara baku dan tersurat
  6. Pemberian wewenang (otoritas) harus selalu ditopang dengan rasionalitas dan legitimasi
 
Menurut Weber jika asumsi tersebut terpenuhi barulah kita dapat diskusikan mengenai model konfigurasi keorganisasian yang superior (unggul/ canggih) yaitu birokrasi.

Suatu formasi birokratik sesungguhnya adalah satu-satunya bentuk organisasi yang bisa menjamin bahwa pertanyaan-pertanyaan mendasar keorganisasian yang terkait dengan penambahan skala aktivitas dari organisasi tersebut akan selalu memperoleh respon yang rasional.

Bagi Weber sebuah organisasi birokratik (birokratisasi) adalah identik dengan sebuah organisasi yang rasional. Weber juga berpendapat bahwa birokrasi-birokrasi pun merupakan hasil produk rasional dari social engineering yang kehadirannya tak mungkin terelakkan lagi (Stark, 2004).

DISFUNGSI-DISFUNGSI PADA BIROKRATISASI ORGANISASI
  Meski Weber mempunyai keyakinan kuat bahwa birokratisasi merupakan pengejawantahan model organisasi yang paling superior namun beliau tidak memungkiri adanya kemungkinan kekurangan-kekurangan tertentu. Format birokratisasi organisasi bukanlah sebuah tujuan akhir yang ingin dicapai melainkan hanyalah sebuah instrumen untuk menerapkan rasionalitas ke dalam atmosfer organisasi. Seandainya terjadi pergeseran sampai melampaui batas-batas yang terkandung dalam birokratisasi organisasi sehingga mengganggu rasionalitas organisasi dan kemudian berpengaruh negatif terhadap kinerjanya maka Weber akan menyebut organisasi tersebut sebagai sebuah “birokrasi yang telah menyimpang dari makna kebirokrasiannya”.

Weber juga menyadari keterbatasan jangkauan antara kinerja yang optimal dengan kapasitas birokrasi. Bila kinerja optimal sudah melebihi kapasitasnya maka birokrasi justru akan menjadi beban yang menghambat efisiensi dan efektivitas dari organisasi.

      Pengkritisan konsepsi-konsepsi dasar dari pola pikir Weberian dikupas secara tajam dengan pendekatan yang berbasis pada teori-teori yang menyandingkan antara rational choice dengan public choice (Farrel, 1999). Teoritis penganjur public choice berpendapat bahwa asumsi-asumsi Weber tentang rasionalitas kurang sesuai dengan kenyataan empiriknya. Menurut analisis Weber, nalar rasionalitas pada perilaku individu terbentuk melalui kehadiran suatu supra struktur rasional yang sah secara hukum (Conybeare, 1984). Dengan menempatkan para partisipan ke dalam atmosfer yang rasional maka secara spontan mereka akan bertingkah laku rasional yang bermanfaat bagi organisasi. Para penganut teori public choice menentang analisis Weber tersebut dan menyalahkannya sebagai seorang pakar yang mengabaikan kenyataan akan adanya perbedaan motivasional di antara para partisipan organisasi.

Dengan dukungan pandangan mazhab ekonomi neoklasik maka para teorisi public choice menyimpulkan bahwa sumber energi yang bisa dijadikan penggerak utama untuk memotivasi para partisipan organisasi hanyalah jika mereka secara individual berkeyakinan terbuka kesempatan untuk meraih manfaat seoptimal mungkin (Heywood, 1997).

Menurut Niskanen motivasi para partisipan organisasi publik secara primer cenderung digerakkan oleh pertimbangan mementingkan kelancaran karirnya, karenanya beberapa dari mereka sering berupaya melipatgandakan anggaran organisasinya. Pemekaran organisasi akan menyediakan peluang untuk mempertahankan jabatan, promosi yang lebih cepat, bertambahnya pendapatan dan memperkokoh kekuasaan.
Adanya upaya para birokrat untuk memaksimalkan anggaran, ditambah dengan tidak berfungsinya mekanisme pasar mengakibatkan banyak birokrasi mekar tak terkendali, bahkan berjalan semakin melenceng dari pencanangan sasaran semula, dimana hal tersebut justru menyuratkan ketidakefisienan (Niskanen, 1971).

     Ketidakpercayaan terhadap adanya korelasi antara tindakan-tindakan rasional dari para anggota organiasasi dengan tercapainya sasaran-sasaran organisasi seperti yang telah disampaikan Weber, terungkap kembali pada studi yang dilakukan oleh Merton.

Merton menekankan adanya predisposisi tentang “kepribadian-kepribadian seorang birokrat” sebagai salah satu penyebab utama terjadinya disfungsi pada organisasi-organisasi birokratik (Merton, 1957).

Dipicu oleh birokratisasi organisasi sendiri, seseorang yang berkepribadian birokrat dengan sendirinya secara alamiah akan menyatu dengan peraturan-peraturan dan prosedur-prosedur organisasi sehingga kepatuhan terhadap tata tertib keorganisasian menjadi sebuah obsesi yang direalisasikan. Bahkan mereka cenderung lebih mementingkan pelaksaksanaan prosedur organisasi dibandingkan efektivitas dan efisiensinya. Jadi, pemaknaan terhadap prosedur yang seharusnya dianggap sebagai sarana atau alat (instrument/ tool) untuk mencapai sesuatu justru berubah menjadi salah satu sasaran atau tujuan (goal) yang ingin diraih organisasi. Akibatnya dalam perilaku berorganisasi individu cenderung memunculkan karakteristik pembawaan dirinya yang tidak sesuai dengan karakteristik rasional yang dikehendaki.

Itulah kelemahan birokrasi. Selain itu juga terdapat fenomana lain yang paradoksal, yaitu rigiditas (kekakuan) penyerahan diri sepenuhnya terhadap peraturan organisasi justru berdampak pada berkurangnya tingkat pencapaian sasaran.
Paradoks itulah yang menjadi pemicu kritikan yang ditujukan pada birokratisasi orgnisasi, dimana dengan struktur-struktur homogen seharusnya dapat menjamin terlaksananya efisiensi dan efektivitas organisasi, namun pada prakteknya justru menghambat kinerja organisasi. Pembakuan (formalisasi) yang dipaksakan nantinya dapat saja mereduksi kapasitas adaptasi dari organisasi. Spesialisasi kerja yang terlalu ketat dikhawatirkan akan menciptakan rigiditas dan misskomunikasi. Suatu regulasi yang berlebihan akan membatasi terjadinya transfer pengetahuan dalam organisasi dan mempersulit terbentuknya perilaku keorganisasian yang sesuai dengan kebutuhan (Jaffe, 2001).

Terkuaknya paradoks tersebut justru berakar dari gagasan Weber sendiri yang memilah antara rasionalitas formal dengan rasionalitas substansif. Rasionalitas formal tertuju pada pengembangan instrumen dan metode-metode yang digunakan memfasilitasi tercapainya realisasi efisiensi sasaran-sasaran organisasi. Sementara rasionalitas substansif tertuju pada penentuan kriteria yang memperbolehakan organisasi (sosial) mengadopsi nilai-nilai yang lebih manusiawi seperti kebebasan, kreativitas, otonomi, dan demokrasi. Tirai paradoks birokrasi semakin tersingkap ketika fakta berbicara bahwa birokratisasi organisasi terlampau menganakemaskan rasionalitas formal dan meninabobokan rasionalitas substansif (Jaffe, 2001).
           




[Referensi: Manajemen Stratgeik Keorganisasian Publik karya Aime Heene & Sebastian Desmidt, disadur oleh Faisal Affif & Ismeth Abdullah]