Birokrasi sebagai instrumen dari suatu sistem pemerintahan dalam
program mewujudkan kesejahteraan rakyat sangat ditentukan oleh sikap dan
perilaku dari segenap pengelola atau birokrat, yaitu kesadaran akan fungsi dan
peranannya sebagai abdi masyarakat (public
services).
Membangun pemerintahan yang bersih merupakan syarat utama dalam
mewujudkan sistem dan mekanisme roda pemerintahan secara profesional, netral
dan akuntabel serta patut diteladani dalam kepemimpinan sehingga mampu mencegah
praktek KKN (Korupsi, Kolusi dan Nepotisme) sebagai penghambat usaha-usaha
efektif dan efisien. Pemerintahan yang bersih akan terwujud jika dibangun oleh aparat
yang bersih. Orang-orang yang bersih hanya ada pada mereka yang konsisten
terhadap nilai-nilai agama yang diyakininya. Karenanya sebuah institusi
pemerintahan dan penyelenggara administrasi negara harus sarat dengan
nilai-nilai religius, beradab, bersih, kompeten, profesional, dan berpihak pada
kepentingan publik tentunya. Inti permasalahan dalam membangun birokrasi yang
efektif dan efisien adalah menempatkan para birokrat sesuai dengan kebutuhan,
fungsi dan peranannya secara kompeten dan profesional, dengan latar belakang
persyaratan yang harus dipenuhinya (the
right man on the right place).
Salah satu potret buruk birokrasi adalah tingginya biaya yang
dibebankan untuk layanan publik, waktu tunggu yang lama dan banyaknya pintu
layanan yang harus dilewati. Selain itu juga karena kompetensi aparatur
birokrasi yang rendah yang disebabkan rendahnya kualitas rekruitmen dan
pembinaaan pegawai serta lebih dominannya kepentingan politis dalam kinerja
birokrasi.
Permasalahan dasar yang dihadapi
bIrokrasi pemerintah adalah terdapatnya kecenderungan distrust (penurunan kepercayaan) masyarakat pada pemerintah.
Hal ini disebabkan karena birokrasi pemerintah selama ini masih lamban dalam menyesuaikan
diri dan merespon perkembangan yang semakin pesat sehingga belum maksimal dalam
memenuhi tuntutan masyarakat.
Krisis kepercayaan masyarakat terhadap
birokrasi pemerintah tersebut disebabkan karena rendahnya kesadaran PNS (Pegawai
Negeri Sipil) pada kedudukan dan perannya, sebagaimana telah diamanatkan oleh
Undang-Undang No. 43 Tahun 1999 tentang Perubahan Atas Undang-Undang No. 8
Tahun 1974 tentang Pokok-pokok Kepegawaian. Dalam undang-undang tersebut telah
dtegaskan bahwa pegawai negeri merupakan unsur aparatur negara yang bertugas
untuk memberikan pelayanan kepada masyarakat secara profesional, jujur, adil,
dan merata dalam penyelenggaraan tugas negara, pemerintahan dan pembangunan.
Perjalanan birokrasi di negeri kita Indonesia sangat dipengaruhi oleh
beraneka ragam budaya dengan latar belakang karakter yang berbeda-beda sejak
era pemerintahan berbentuk kerajaan, kolonialisme sampai pada era kemerdekaan.
Birokrasi kita sejak terbebas dari cengkraman penjajah dan pada awal
kemerdekaan yang kemudian disusul dengn lahirnya partai-partai politik dengan
kepentingan politik yang didasarkan pada ideologi dan kekuasaan, birokrasi kita
tidak pernah netral sebagai aparatur yang seharusnya berpihak kepada publik,
bahkan cenderung sebagai mesin politik dan alat kekuasaan.
Jika dilihat dari perspektif historis,
birokrasi telah menjadikan publik sebagai objek kekuasaan. Ketidakberpihakan
birokrasi kepada publik ini tidak lepas dari awal kemunculan mereka yang
merupakan kepanjangan tangan pemerintah kolonial pada masa itu untuk
mengeksploitasi publik. Hal ini berlanjut pada kurun waktu rezim orde baru
berkuasa.
Kondisi
objektif birokrasi yang demikian lama diwarnai oleh kekuasaan atas publik akan
membutuhkan waktu yang lama untuk mengubahnya menjadi kekuasaan untuk publik.
Kinerja birokrasi yang buruk pada akhirnya akan dapat
mempengaruhi gerak pembangunan dan daya saing ekonomi nasional dan global. Jika
kita ingin menjadi negara maju dan terdepan dalam pembangunan maka reformasi
birokrasi menjadi suatu keniscayaan.
Reformasi birokrasi mengisyaratkan
adanya perubahan paradigma pengelolaan pemerintahan yang akan berimplikasi pada
reformasi sistem kepegawaian. Sistem yang sebelumnya dengan pendekatan tata
usaha kepegawaian dipandang sudah tidak relevan lagi dengan dinamika perkembangan
masyarakat dan pemerintahan. Agar good governance dan
pemerintahan yang bertanggung jawab dapat terwujud maka perlu adanya reformasi sistem
kepegawaian yang diarahkan pada pengembangan aparatur/ SDM secara holistik dan
terintegrasi.
Siapapun yang memimpin bangsa ini tidak boleh berhenti berupaya
melakukan terobosan agar birokrasi kita menjadi lebih efisien dan efektif serta
kondusif bagi pembangunan dan kesejahteraan masyarakat. Hal ini memang tidak
semudah membalikkan telapak tangan namun menyederhanakan birokrasi dirasa perlu
agar lebih mudah namun tidak menyalahi aturan, tidak menimbulkan high cost economic (biaya ekonomi yang
tinggi), netral dan tidak diskriminasi dalam memberikan pelayanan. Dengan
begitu sistem birokrasi di negeri ini tidak akan lagi menjadi beban ataupun
batu sandungan bagi peningkatan kinerja ekonomi nasional.
Masih adanya lembaga departemen maupun nondepartemen atau dinas daerah
yang dibentuk tanpa mempertimbangkan kebutuhan riil daerah, bahkan ada yang
eksistensinya hanyalah untuk mengakomodasi kepentingan kelompok tertentu,
mengakibatkan terjadinya inefisiensi dan inefektivitas birokrasi.
Mengingat karakteristik masyarakat yang kini semakin kritis menjadikan
tantangan peningkatan kualitas pelayanan publik semakin relevan. Sikap kritis
ini karena kuantitas masyarakat yang berpendidikan tinggi terus meningkat. Kemakmuran
status ekonomi masyarakat memicu terciptanya kebutuhan-kebutuhan pelayanan
publik baru yang perlu dipenuhi pemerintah sehingga tuntutan publik atas
pelayanan menjadi kian kompleks.
Karenanya birokrasi harus berupaya
untuk memunculkan jiwa kewirausahaan. Jiwa kewirausahaan adalah kemampuan
mencari cara baru guna memaksimalkan produktivitas dan efektivitas agar
birokrasi dapat beradaptasi dengan era globalisasi yang berlangsung cepat
seiring perkembangan teknologi yang kian canggih. Kondisi ini mengharuskan
organisasi publik siap melakukan perubahan fundamental organisasional demi
menuju good governance.
Sehingga perlu juga dilakukan revitalisasi birokrasi melalui
optimalisasi kapasitas birokrasi, mencakup bebrapa aspek diantaranya:
- Aspek kelembagaan; dengan melakukan restrukturisasi fungsi dan organisasi birokrasi yang semula besar menuju sebuah organisasi birokrasi yang ramping, cepat dan murah
- Aspek sumber daya manusia (SDM); dengan menciptakan SDM yang kompeten di bidangnya melalui beberapa strategi yaitu proses rekrutmen, pensiun dini, pelatihan dan pengembangan pegawai serta peninjauan sistem karir yang baik dan rapi
- Aspek manajemen organisasi dan keuangan; perspektif manajemen dan keuangan dengan membentuk birokrasi modern yang secara fisik organisasional kecil namun secara kualitatif berkapasitas besar, sehingga kualitas pelayanan publik yang diberikan semakin baik dengan biaya dapat ditekan.
Sesungguhnya birokrasi adalah tipe organisasi yang dirancang untuk
menyelesaikan tugas-tugas administratif dalam skala besar dengan cara
mengkoordinasi pekerjaan banyak orang secara sistematis. Dengan kata lain
birokrasi merupakan alat atau instrumen untuk memuluskan jalannya pelaksanaan/
implementasi kebijakan pemerintah dalam usaha melayani masyarakat. Dalam
kaitannya dengan hal ini, konsep ideal Weber masih relevan untuk dijadikan
rujukan, tentu dengan beberapa penyesuaian.
Tipe
ideal organisasi bagi Weber melekat dalam struktur organisasi rasional dengan
prinsip rasionalitas yang bercirikan pembagian kerja, pelimpahan wewenang,
impersonalitas, kualifikasi teknis, dan efisiensi.
Pada dasarnya tipe ideal birokrasi yang
digagas Weber mempunyai tujuan untuk menghasilkan efisiensi dalam pengaturan
negara. Namun dalam prakteknya konsep Weber tidak sepenuhnya sesuai dengan
kondisi terkini, apalagi dalam konteks negara Indonesia, masih perlu ada
pembaharuan makna dan kandungan birokrasi.
Pada pandangan tersebut birokrasi
dimaknai sebagai institusi formal yang memerankan fungsi pengaturan, pelayanan,
pembangunan, dan pemberdayaan masyarakat. So,
birokrasi dalam pengertian Weberian
adalah fungsi dari biro untuk menjawab secara rasional terhadap serangkaian
tujuan yang ditetapkan pemerintah. Birokrasi
Weber berparadigma netral dan bebas nilai. Tidak ada unsur subyektivitas yang
masuk dalam pelaksanaan birokrasi karena sifatnya impersonalitas – melepaskan
baju individu dengan ragam kepentingan yang ada di dalamnya.
BACA JUGA TENTANG BIROKRASI WEBER DI SINI.
BACA JUGA TENTANG BIROKRASI WEBER DI SINI.
Birokrasi sering dikritik dalam prakteknya banyak menimbulkan masalah
inefisiensi serta hanya menjadi ajang politisasi yang dilakukan oknum partai
yang ingin meraih kekuasaan dan jabatan politis.
Masyarakat memandang kecenderungan
birokrasi akhir-akhir ini benar-benar memprihatinkan sehingga diramalkan akan
semakin menggejala dan berkembangnya praktek-praktek birokrasi yang tidak bisa
lagi dianggap sebagai bencana baru yang menakutkan.
Patologi birokrasi dicirikan oleh kecenderungan patologis terhadap
persepsi, perilaku dan gaya manajerial, masalah pengetahuan dan ketrampilan,
tindakan melanggar hukum, keperilakuan, dan adanya situasi internal. Birokrasi
memiliki kecenderungan mengutamakan kepentingan pribadi (self serving), mempertahankan status
quo, resisten terhadap perubahan, dan memusatkan kekuasaan. Hingga birokrasi
terkesan lebih mementingkan prosedur dari pada substansi, lamban dan menghambat
kemajuan.
Birokrasi di
kebanyakan negara berkembang – termasuk di negara kita, Indonesia – cenderung bersifat
patrimonialistik yang tidak efisien,
tidak efektif (over consuming and under
producing), tidak obyektif, menjadi pemarah ketika dikritik, menghindari
kntrol, tidak mengabdi pada kepentingan umum, tidak lagi menjadi pelayan rakyat
namun telah menjadi instrumen penguasa dan sering tampil sebagai penguasa yang
sangat otoritatif dan represif.
Hal tersebut terlihat dengan adanya
gejala yang menunjukkan bahwa birokrasi menghadapi krisis kepercayaan dari
masyarakat. Kecaman dan pesimisme semakin jelas terlihat karena banyak anggota
masyarakat yang merasakan berbagai perilaku birokrat yang tidak dapat memenuhi
tuntutan pembangunan dan perkembangan masyarakat yang dilayaninya.
Birokrasi publik di sektor
pemerintahan, pendidikan dan kesehatan misalnya, berada dalam suatu kondisi organizational slack yang ditandai
dengan menurunnya kualitas pelayanan yang diberikan. Masyarakat pengguna
layanan banyak yang mengeluh dan memberikan semacam public alarm agar pemerintah sebagai instansi yang paling
berwenang, responsif terhadap semakin menurunnya kualitas pelayanan kepada masyarakat.
Pada dasarnya pelayanan publik
adalah kegiatan yang dilakukan oleh seseorang atau sekelompok orang atau
instansi kepada masyarakat (pengguna layanan) demi mencapai tujuan tertentu.
Pelayanan publik ini menjadi semakin penting karena senantiasa berhubungan dengan
masyarakat dengan berbagai kepentingan dan tujuan. So, institusi pelayanan publik dapat dilakukan oleh pemerintah
ataupun nonpemerintah. Apapun bentuk institusi pelayanannya yang
terpenting adalah bagaimana dapat memberikan bantuan dan kemudahan demi
memenuhi kebutuhan dan kepentingan masyarakat.
Untuk
merespon kesan buruk birokrasi, birokrasi perlu melakukan perubahan sikap dan
perilakunya, antara lain:
- Mengutamakan sifat pendekatan tugas yang diarahkan pada pengayoman dan pelayanan masyarakat dan menghindari kesan pendekatan kekuasaan dan kewenangan
- Melakukan penyempurnaan organisasi yang bercirikan organisasi modern, ramping, efektif, dan efisien yang mampu membedakan antara tugas-tugas yang perlu ditangani dan yang tidak perlu ditangani – termasuk membagi tugas yang dapat diserahkan ke masyarakat
- Melakukan perubahan sistem dan prosedur kerja dimana lebih berorientasi pada ciri-ciri organisasi modern, yakni pelayanan cepat, tepat, akurat, transparan dan berkualitas, serta efisiensi biaya dan ketepatan waktu
- Memposisikan diri sebagai fasilitator pelayan publik dari pada sebagai agen pembaharu pembangunan
- Melakukan tranformasi diri dari birokrasi yang rigid (kaku) menjadi lebih fleksibel, inovatif, responsif dan desentralistis.
Organisasi
birokrasi yang mampu memberi pelayanan publik secara efektif dan efisien pada
masyarakat adalah organisasi yang strukturnya terdesentralisasi. Dengan
struktur yang terdesentralisasi maka akan lebih mudah mengantisipasi kebutuhan
dan kepentingan yang diperlukan masyarakat, sehingga birokrat dapat dengan
cepat melayani sesuai harapan masyarakat.
Selain itu, budaya organisasi birokrasi juga
menjadi faktor penting, sehingga perlu dipersiapkan SDM atau aparat yang
benar-benar mampu (capability), memiliki
loyalitas kepentingan, keahlian (competency),
dan mempunyai keterkaitan kepentingan (coherency)
dan consistency.
Pemerintah harus
mempersiapkan aparat birokrasi yang profesional yang mampu menguasai
teknik-teknik manajemen pemerintahan yang tidak hanya berorientasi pada
peraturan (rule oriented), namun
lebih pada pencapaian tujuan (goal
oriented).
Berikut
ini beberapa solusi strategis untuk mengatasi persoalan kemunduran birokrasi dalam
hal pelayanan publik:
- Merubah paradigma birokrasi mengenai konsep pelayanan
- Menjalankan kebijakan publik yang lebih mengutamakan kepentingan rakyat dibanding penguasa atau elit tertentu
- Unsur pemerintah, privat dan masyarakat harus bekerja secara sinergis sesuai dengan peran masing-masing
- Membuat dan menjalankan peraturan daerah yang secara jelas dan tegas menerapkan standard minimal pelayanan publik dan saksi bagi yang melanggarnya
- Menyusun dan menjalankan mekanisme pengawasan sosial yang jelas mengenai pelayanan publik antara birokrat dan masyarakat yang dilayani
- Perlu adanya strong leadership (kepemimpinan yang kuat) dalam melaksanakan komitmen pelayanan publik
- Berupaya melakukan reformasi di bidang sistem administrasi publik (administrative reform)
- Memberdayakan masyarakat secara berkelanjutan (continuous empowerment) dan demokratis
[Referensi:
Reformasi Birokrasi Menuju Pemerintahan yang Bersih (Telaah Kritis Terhadap
Perjalalan Birokrasi di Indonesia) oleh Ahmad Sumargono]
“Dan
DIA lah yang menjadikan kamu penguasa-penguasa di bumi dan DIA meninggikan
sebagian kamu atas sebagian (yang lain) beberapa derajat, untuk mengujimu
tentang apa yang diberikan-NYA kepadamu. Sesungguhnya Tuhanmu amat cepat
siksaan-NYA dan sesungguhnya DIA Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.”
(QS.
Al-An’aam: 165)
“Hai Daud, sesungguhnya Kami menjadikan kamu khalifah
(penguasa) di muka bumi, maka berilah keputusan (perkara) di antara manusia
dengan adil dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu, karena ia akan menyesatkan
kamu dari jalan ALLAAH. Sesungguhnya orang-orang yang sesat dari jalan ALLAAH akan mendapat azab yang berat,
karena mereka melupakan hari perhitungan.”
(QS.Shaad:
26)
No comments:
Post a Comment